Culture Shock di Negara Sendiri

Akhir bulan Mei sampai awal Juni kemarin aku dan suami mudik ke Indonesia tepatnya ke Palembang selama hampir tiga minggu. Mudik kali ini dalam rangka merayakan Idul Fitri bersama keluargaku disana dan aku juga rindu suasana bulan puasa dan lebaran di Indonesia yang ramai dan meriah nggak kayak disini yang sepi dan B aja.

Sudah pasti aku dan suami senang dong selama waktu mudik kami kemarin ke Indonesia karena bisa bertemu keluarga dan makanan – makanan Indonesia yang rasanya tuh jauuuhhh lebih enak dan gurih dibandingkan dengan rasa makanan Indonesia disini mau makanan yang dibeli di restaurant Indonesia ataupun masak sendiri di rumah.

Tapi selama mudik kemarin justru aku merasakan culture shock atas banyak hal yang aku lihat dan alami sendiri. Hal – hal yang dulu bagiku biasa tapi sekarang justru jadi hal yang menggagetkan dan menyebalkan padahal aku baru sepuluh bulan menetap di Belanda. Dalam sepuluh bulan terakhir ini aku hidup di negara yang banyak sekali perbedaannya dengan Indonesia, nggak cuma sistem, iklim dan kualitas hidupnya tapi juga orang – orangnya. Ya jelaslah ya, memang ga nggak apple to apple rasanya kalau mau membandingkan antara Belanda dengan Indonesia.

Disini aku mau cerita hal – hal saja yang bikin aku merasakan culture shock di negara sendiri, tapi apa yang mau aku sampaikan disini adalah sesuai pengalaman pribadiku selama mudik kemarin ya, mungkin ada juga WNI lainnya ga merasakan culture shock seperti yang aku rasakan sewaktu mereka mudik/liburan atau kembali ke tanah air. Kan pengalaman orang berbeda – beda.

Mari kita mulai…

NGGAK TERTIB DI ANTRIAN

Kenapa sih orang Indonesia (walaupun ga semuanya sih) susah banget untuk tertib di antrian? Contohnya waktu aku lagi ngantri di toilet di bandara Soekarno Hatta. Antrian segitu panjangnya sampe mengular keluar tapi masih ada saja yang pura – pura bego nggak lihat orang yang lagi ngantri dan tetap usaha nyelip – nyelip biar bisa nerobos antrian. Yang kebanyak berulah seperti ini adalah ibu – ibu baik yang sendirian atau bawa anak sampai anak kecil maupun remaja. Perempuan atau ibu – ibu yang malas ngantri dan suka nyerobot antrian ini bukan cuma yang umuran lima puluh tahun keatas ya atau oma – oma yang sepuh yang mungkin nggak tahu aturannya gimana tapi banyak juga perempuan muda atau mahmud alias mamah muda yang juga sama menyebalkannya nggak mau ngantri, pura – pura bego dan berusaha nerobos antrian. Sampai aku berulang kali menegur mereka untuk antri lho. Sudah nahan kebelet pipis, masih harus ditambah nahan emosi melihat ulah mereka. Tapi herannya cuma aku yang menegur orang – orang yang ga mau tertib mengantri ini, yang lainnya diam aja seakan mereka nggak melihat apa yang terjadi di depan mata dan petugas yang jaga toiletnya pun baru berinisiatif buat menegur dan mengatur orang yang banyak ulah tadi setelah melihat aku menegur mereka duluan. Ini baru antrian di toilet saja ya, belum lagi antrian di tempat lainnya.

Yang lucu lagi waktu aku lagi ngantri di kasir KFC di salah satu mall di Palembang, setelah aku membayar kemudian kasirnya menyiapkan makanan yang aku pesan jadi aku masih harus berdiri menunggu di depan meja kasir yang sekaligus menjadi meja pemesan dan juga pengambilan makanan ini, makanya bisa dibayangkan butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan satu transaksi dengan sistem seperti ini. Apalagi kalau memesan makanan yang butuh waktu lebih untuk dihidangkan karena otomatis kasirnya tidak akan melayani customer lain sebelum menyelesaikan semua pesanan satu customer kan. Tapi pas aku baru masukin dompet ke tas, tiba – tiba ada seorang ibu yang langsung maju dari antrian dan berdiri disebelahku. Aku kaget dong dan langsung menegur ibu tersebut untuk mengantri di belakangku karena pesananku belum selesai, tapi si ibunya malah sewot, begini kira – kira percakapanku dengan si ibu yang nggak sabaran waktu itu…

“Bu, silahkan balik ke antrian dulu karena pesanan saya belum selesai.”

“Lah kan saya juga mau pesan makanan!” (cara ngomongnya sudah sewot)

“Iya tapi kasirnya aja masih sibuk sama makanan saya, ga mungkin juga ibu dilayani sekarang jadi tunggu aja dulu sampai pesanan saya selesai.”

“Oh jadi kamu merasa nggak nyaman saya berdiri disini?” (makin sewot)

“Ya jelas saya merasa nggak nyaman kalau anda berdiri disini karena saya masih disini nungguin makanan saya. Gimana sih masa yang begini aja ditanyakan.” (disini orang – orang dan si mbak kasirnya pada ngelihatin kami karena volume suaraku yang lumayan keras)

“Biasa aja dong mbak, ini kan masih lebaran.” (mulai mengecil suara si ibu nggak sabaran ini)

“Apa hubungannya sama lebaran, bu? Lagian saya ga lebaran tuh.”

“Oh pantesss… bla bla bla…” (aku ga dengar lanjutannya dia ngomong apa karena dia sudah balik ke antrian)

Trus tiba – tiba aku dengar si ibu setengah teriak manggil suaminya sambil ngeliatin aku mendelik pun matanya, dikiranya aku bakalan takut kali ya sama dia dan suaminya kalau digituin. Hahaha.

Sudah pesananku selesai semua, aku persilahkan ibu itu untuk maju ke depan kasir dan bilang ke dia, “lain kali jangan kayak orang kampungan”.

LELET

Masalah keleletan ini kami alami waktu ngantri di kasir Carrefour di Palembang. Karena kami menginap di hotel yang dekat dengan mall dan supermarket ini kami jadi lumayan sering berbelanja camilan disana. Dan setiap kali belanja, antrian di kasirnyanya tuh selalu ramai dan lama. Karena apa? Karena kasirnya kerjanya lelet dan semuanya dikerjakan sendiri mulai dari men-scan barang, masukin barang ke kantong plastik yang  ukurannya kecil dan tipis jadi harus didouble plastiknya biar ga koyak sampai menerima pembayaran dari customer. Bahkan ada kasir yang harus mengeluarkan barang belanjaan dari keranjang belanja sebelum di-scan karena customernya yang terlalu pemalas untuk melakukannya sendiri. Setahun lalu sewaktu aku masih tinggal di Indonesia, antrian di kasir yang panjang dan lama ini adalah hal biasa dan waktu itu aku fine – fine saja. Bahkan kalau kasirnya nawarin barang dan ngobrol dengan customernya pun masih ku anggap biasa aja. Tapi sekarang berbeda, nunggu lama diantrian mau bayar barang belanjaan itu sungguh bikin aku kesal. Lama yang kumaksud disini adalah lebih dari lima belas menit. Karena di Belanda aku terbiasa dengan sistem kasir yang kerjanya cepat dan customernya pun mandiri, jadi customer yang harus mengeluarkan dari troli barang belanjaannya dan menaruhnya di conveyor belt di dekat kasir jadi si kasirnya bisa dengan mudah dan mengambil dan men-scan barang satu per satu, setelah kasir men-scan satu barang dia akan memindahkan barang tersebut ke sisi lain meja kasir dan lanjut dengan barang berikutnya, dimana disisi lain meja kasir itu customer bisa memasukan sendiri barang-barang yang sudah discan ke kantong belanjaan yang cukup besar atau wadah lainnya yang dibawa dari rumah atau dibeli di kasir. Jadi bukan tugas kasir untuk membantu memasukan barang belanjaan ke kantong plastik atau wadah lainnya. Setelah semua selesai di scan kasir akan menyebutkan total harga yang harus dibayar bisa juga dilihat dilayar mesin kasirnya), customer membayar bisa secara tunai atau dengan kartu, lalu kasir memberikan struk belanjaan dan selesai, customer bisa langsung pergi karena barang belanjaanpun sudah berada di dalam wadah dengan rapi siap dibawa pulang. Jadi walaupun barang belanjaannya banyak, semua transaksi di kasir akan tetap cepat dan efisien dengan sistem seperti ini. Kalau dikira – kira lama waktu yang dihabiskan dikasir supermarket disini nggak kan lebih dari sepuluh menit, itupun kalau barang belanjaannya banyak sekali ya. Kalau barangnya sedikit, nggak sampai lima menitpun sudah selesai.

Di beberapa supermarket disini pun sudah pakai sistem seratus persen self service jadi sebelum kita belanja, kita scan dulu bonuskaart kita kemudian ada alat scanner yang bisa kita gunakan untuk men-scan barcode barang yang kita mau beli dan bisa ditambahkan juga jumlah barangnya di alat scanner tersebut kalau kita mau beli barang yang sama lebih dari satu. Selesai belanja bisa langsung menuju area mesin kasir elektronik, balikin alat scannernya dan pindahin barang belanjaan kita dari troli ke wadah yang kita bawa lalu scan lagi bonuskaart kita di mesin kasir elektronik tersebut dan akan keluar total harga yang harus kita bayar (yang mana total harga ini kita sudah tau sebelumnya saat men-scan belanjaan kita sendiri dengan alat scanner) dan bisa langsung kita bayar dengan kartu debit atau kredit. Lalu akan keluar struk belanjaan dari mesin tersebut, nah di struk belanjaan ini ada barcode yang harus kita scan untuk membuka pintu keluar dari area mesin kasir elektronik.

Simple banget kan. Cepat dan semua bisa kita lakukan sendiri. Kapan ya di Indonesia ada sistem kasir yang seperti ini atau minimal kasir yang kerjanya cepat dan customernya bisa mandiri kayak disini?

JAM KARET

Ya ampun ini nih hal menyebalkan yang sudah melekat mendarah daging sama kebanyakan orang Indonesia, nggak cuma orang Indonesia yang tinggal di Indonesia tapi orang Indonesia yang tinggal di Belanda pun masih ada yang jam karet kalau janjian. Kalau ngaret alias terlambatnya hanya lima sampai sepuluh menit masih bisa dimaklumi lah ya tapi kalau lebih dari itu bisa bikin gila rasanya. Lebay? Coba aja janjian sama orang yang jam karet.

Aku duluuu bangeeet juga jam karet kalau ada janji ketemuan sama orang lain. Tapi aku selalu usahakan kasih kabar kalau aku akan datang terlambat dan berapa lama kira-kira waktu keterlambatanku jadi orang yang janjian sama aku bisa tau aku akan datang terlambat dan berapa lama harus menungguku. Dan aku selalu usahakan untuk datang terlambat nggak lebih dari lima belas menit. Seiring berjalannya waktu aku mengubah kebiasaan ini, setiap kali janjian untuk bertemu dengan orang lain aku selalu datang tepat waktu atau lima menit lebih awal. Kalaupun terlambat nggak lebih dari sepuluh menit. Karena bagiku harus menunggu lebih dari sepuluh menit itu menyebalkan. Tapi masih banyak aja lho orang Indonesia yang cuek aja kalau datang terlambat alias jam karet yang ngareeeeet bangeeeeet. Yang telatnya itu sudah nggak masuk akal buatku karena bisa lebih dari satu jam. Gila aja harus menunggu orang lain lebih dari sepuluh menit aja sudah bikin bete apalagi kalau harus menunggu sampai satu jam bahkan lebih. Manusia jam karet ini seringkali nggak ngasih kabar kalau dia bakalan datang terlambat dan berapa lama estimasi keterlambatannya. Harus ditanya dulu baru ngasih tau. Dan yang lebih gila dan menyebalkannya lagi ada juga yang bisa batalin janjian di hari H dan di waktu janjian atau malah setelah lewat dari waktu janjian bukan sebelumnya. Itupun dengan alasan yang nggak jelas atau nggak masuk akal. BENER – BENER LAH YA YANG BEGINI INI BIKIN ESMOSI JIWA. Kita sudah meluangkan waktu buat dia eh dianya malah nggak menghargai waktu kita. WEW.

Kalau di Belanda sendiri janjian ketemu dengan siapapun harus tepat waktu. Kalau janjinya jam satu siang ya artinya jam satu siang TENG ketemunya. Nggak pake acara kecepatan atau terlambat. Kalaupun terlambat harus kasih tau (sebelum ditanya) dan berapa lama estimasi keterlambatannya plus kasih alasan terlambatnya kenapa jadi semuanya jelas. Kalau mau membatalkan janjian harus kasih tau sebelum hari H nya atau kalau ada keadaan mendesak yang terjadi di hari H sehingga harus membatalkan janjiannya minimal harus kasih tau jauh sebelum waktu/jam janjiannya.

NGGAK JELAS KALAU JANJI MAU KETEMUAN

Nah kalau ini suamiku yang kena culture shock masalah janjian yang nggak jelas ini, aku sih masih B aja karena sudah tau kebiasaan ini. Jadi ceritanya kami sudah beberapa kali berkomunikasi dengan temanku di Palembang yang kebetulan suamiku juga kenal. Dan kami bilang kami mau ketemu sama mereka di Palembang. Mereka juga sudah tau kapan dan berapa lama kami di Palembang dan menginap dimana. Tapi karena mereka sibuk jadi kami belum menentukan waktu ketemuannya, biar mereka yang ngabarin kapan waktunya karena mereka yang sibuk sedangkan kami punya banyak waktu luang. Nah tunggu punya tunggu sampai mudik hari terakhir di Palembang si teman ini nggak ngabarin sama sekali. Malamnya baru ngechat basa-basi kalau mereka belum sempat bertemu dengan kami. LOL. Aku memang sengaja nggak mau nanya ke temanku ini soal keinginan kami untuk bertemu karena mau lihat kebiasaan nggak jelas ini masih ada atau enggak di tahun 2019 eh ternyata masih ada lho.

Sementara kebiasaan disini kalau mau bertemu orang lain tuh harus ataur waktu dan bikin janjinya dari lama. Bisa hitungan minggu atau bahkan bulan. Jadi bikin janjinya hari ini untuk ketemu minggu depan, bulan depan, dua atau tiga bulan kedepan. Bahkan untuk enam bulan ke depan. Nggak bisa pake sistem lihat ntar deh gimana waktunya dan mendadak ketemuan. Suamiku yang terbiasa dengan sistem janjian yang jelas ini tentu kecewa dengan sistem janjian nggak jelas ala orang Indonesia.

Oh iya satu lagi… MACET. Palembang makin maceeet aja ya ampun. Meningkatnya jumlah kendaraan pribadi yang lalu lalang di jalan raya nggak berbanding lurus dengan peningkatan kesadaran cara berkendara yang baik dan benar juga kepatuhan atas rambu lalu lintas dan marka jalan. Aku sih shock sama kemacetannya sedangkan suamiku shock sama cara orang-orangnya bawa kendaraan mereka yang ga teratur dan slonong boy aja.

Wah ini curhatan panjang beneeerrr. Sudah kayaknya cuma hal – hal diatas aja yang jadi culture shock di negara sendiri bagiku dan bagi suamiku yang juga kena imbas culture shock di Indonesia. Cukup sekian dan terima kasih sudah membaca curhatan yang panjangnya kayak jalan tol Palembang – Lampung ini.

Tot ziens!

2 thoughts on “Culture Shock di Negara Sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *